Halaman

Perbincangan Di Sawah

Burung-burung, sapi, dan kawanan kerbau tak bertuan itu, menjadi musuh bersama. Gara-gara mereka, tahun lalu padi kami gagal panen. Habis di makan mereka, di injak-injak oleh mereka. Dasar hewan gerutuku dalam hati.

Pagi ini aku tidak sendiri, beda dengan kemarin. Hasan, siap menemaniku, karena dia juga punya tugas yang sama. Menjaga ‘aset’ kami dari invasi hewan-hewan itu.
”Ntar furqon juga datang,” Hasan memberi tau ku. Tumben anak itu mau ke sawah, aku sedikit heran.
”Tumben san? Kan sawahnya tidak di sini?,”
”Ia, katanya gak ada teman di kampung. Si Amir dan Lukman pergi ke Dompu,”
”Baguslah. Eh sambilan nyari belut yuk?,” tiba-tiba pikiran ku ingin makan belut, padahal bekal ikan asin, buah asam yang telah digerus bijinya serta beberapa biji tomat, sudah cukup buat hidangan hari ini dan esok. Hasan setuju, dan bergegas mengambil pancingan. Kebetulan, di sawah kami banyak belut. Biasanya tidak menggunakan pancingan, cukup di gali dengan tangan saja. Hanya sekarang, sawah sedang di tanami padi.

Hampir 2 jam, bergelut dengan lumpur. Berguling-guling dengan licinnya belut. Kadang ketawa, kadang jengkel, apalagi kalau tangkapan lepas. Tapi, ada juga yang menakutkan! belut merah. Ukurannya besar dibanding belut yang lain. Kulitnya agak kemerah-merahan. Mirip ular. Pantas kalau hasan sampai-sampai jungkir balik di pinggir sawah, kaget dan takut katanya.
”Woi...belutnya udah banyak belum? Lapar aku ini!,” tanpa rasa berdosa, furqon berteriak. Kami kaget. Ternyata dia sudah lama tiba. Hanya asyik-asyik duduk di salaja (dari bahasa Bima-NTB. Artinya tempat istrahat di sawah, semacam gubuk). Aku dan hasan saling memandang. Terpancar sebuah simbol dari mata kami. Ya, satu kata yang secara lahiriah sudah terbentuk.
”SERANG..!!!!!,” teriak hasan sambil membawa tangkapannya dan segenggam tanah lumpur besar. Aku yang sudah memahami kode matanya itu pun mengikuti komando. Terlihat dengan jelas kepanikan furqon. Dia terjepit, tidak ada tempat untuk membentengi serangan. Yang hanya bisa dilakukan hanya pasrah. Baju yang bersih, kini bercampur lumpur. Namun, tiada kata marah selain ketawa. Prinsip kami, tidak boleh ada yang bersih saat di sawah, kecuali saat pulang ke rumah tiba.

Ada sekitar 20 ekor belut hasil tangkapan aku dan hasan. Sedangkan furqon, kami beri tugas memasak nasi. Bahan bakarnya hanya dari kayu kering di dekat pagar sawah. Airnya, ada di dekat salaja berupa mata air. Kalau hujan turun, airnya berwarna coklat, tapi tetap saja kami meminumnya, tidak pernah ada keluhan sakit perut seperti di kota-kota besar.
Nasi sudah matang. Belut sudah selesai di bakar. Ada air asam di tambahi irisan bawang mentah, sedikit garam dan cabe. Makan belut dengan oi mangge (air asam), begitulah kami menyebutnya. Sungguh nikmat, semua serba alami. Udara yang bersih dan hidangan tanpa ada zat kimia yang tercampur di dalamnya.
”Aduuuhhhh...perut ku kenyang,” gerutu forqon.
”Untung kamu ke sini fur, ada hidangan enak,” kilah hasan.
”Ia benar tu hasan. Eh, sama satu lagi. Malam ini kamu harus tidur di sini bareng kita,” gertak ku ke furqon. Seru kiranya jika kami tidur bertiga di sini. Furqon bersedia, jadilah malam ini kami bercengkrama bertiga di tempat sepi nan sunyi ini.
Saking kenyangnya, tidak terasa kami tertidur hingga hari mulai gelap. Dua lampu tempel, 1 obor dan setrongke, kami nyalakan sebagai penerang. Walau di sawah, tidak ada nyamuk. Udaranya pun dingin dan alami. Sungguh sejuk rasanya.
”San, habis lulus SMA ini kamu mau ke mana? Kamu juga gus?,” tiba-tiba furqon menggugah masa depan yang masih membuat kami dilema. Anak seorang petani seperti hasan, bagaimana dia mendapatkan biaya? Anak seorang guru yang gajinya tidak seberapa, bagaimana saya bisa kuliah? Tapi memang jalan ini harus kami tempuh.
”Belum tau fur, mungkin gak lanjut. Atau 1 tahun ini aku kerja dulu. Pengen sih kuliah tapi ya itu...,” hasan tiba-tiba berhenti. Kami tau maksudnya, dan kami tau yang dia pikirkan.
”Kalau aku memang ada rencana kuliah. Insya Allah di Malang. Agak jauh memang, dan pasti jarang pulang,” ungkap ku.
”Tapi kita tetap ketemu kan gus? Kembali ke bima?,” tanya furqon seolah-olah mengharapkan dengan rasa yang sangat berharap. Aku mengiyakan. Aku pasti kembali, bertemu kalian dan menggarap sawah serta menangkap belut di sini. Obrolan sangat serius, sambil merebahkan badan di atas bale-bale bambu ini. Hingga akhirnya kami terlelap dalam cita-cita dan sebuah pengharapan akan masa depan kami.

Aku kaget. Aku gerah dan marah. Heran tiada terkira. Lima tahun tidak pulang. Tidak ada lagi sawah yang bisa digarap. Belut? Sudah tidak tahu kemana lagi. Yang tersisa hanya hasan dan furqon. Cerita masa lalu itu hanya sebuah sejarah tanpa TKP (Tempat Kejadian Perkara) lagi. Sudah di jamah oleh tangan-tangan kapitalis. Sejarah tidak akan terulang di sini, di tempat ini. Mungkin di tempat lain yang tidak disentuh oleh tangan-tangan kapitalis. Dengan orang yang berbeda, bukan lagi dengan aku, hasan dan furqon.

0 komentar:

Posting Komentar