Halaman

Burung Hantu Mencari Surga (1)

Keheningan mulai terpecah. Semilir angin menyejukkan hati. Embun pagi dengan mesra membasahi tumbuhan yang ada. Ayam jantan berkokok dengan merdunya. Manusia tidak kalah dahsyatnya. Mereka mengumandangkan kata demi kata, Allahuakbar....Allahuakbar. Sholat lebih baik dari pada tidur, lanjut suara itu.Tubuh yang renta dan keriput, tergopoh-gopoh melangkah. Jauh terasa namun dekat. Menuju satu tujuan. Tiada yang lain yang ingin dicapai selain kehadirat-Nya dan keselamatan duniawi-ukhrawi.

Setelah kultum di masjid yang rutin dilakukan, suasan mulai meriah. Aktivitas sudah menampakkan geliatnya. Secangkir kopi mulai tersaji di teras dan bale-bale rumah. Obrolan ringan sudah terlontar dari setiap kelompok. Anak-anak mencari sobatnya, hanya sekedar untuk berlarian. Hanya untuk ke sungai melihat hasil pancingan yang dipasang kemarin malam. Ada juga yang bergegas menuju lahan. Mengairi sawah, membersihkan tumbuhan liar di sekitar padi, dan menjaganya dari kenakalan-kenakalan sapi dan kambing.

Itulah desa atau kampung. Kultur belum terjamah oleh kesesatan-kesesatan. Alam dan udara belum disinggahi kejamnya industri, dan belum tersentuh oleh tangan-tangan kapitalis itu. Seakan mereka menyeru cukup kota-kota itu yang kalian jajah tapi jangan kami. Cukup generasi-generasi di sana yang kalian jajah tapi jangan generasi kami. Biarkan kami seperti ini, agar engkau pun menikmatinya suatu saat.

Semua mata mulai berpaling. Tertuju pada satu titik ketika sebuah mobil jeap melintas perlahan di gang sempit itu. Obrolan pun mulai bertanya, siapakah gerangan itu? Teka-teki ini belum bisa tertuntaskan sebelum penumpang misterius ini menampakkan wujud aslinya. Mobil pun masih perlahan menuju tempat yang diinginkan. Anak-anak kecil berlarian menghampiri mobil, tanpa rasa ingin tahu, hanya ingin melihat mobil saja, barang yang langka di tempat itu.

Petir itu serasa di ubun-ubun. Pagi nan cerah tiba-tiba gelap gulita. Gunjingan pun mulai menampakkan sisi-sisi negatif. Ketika seorang paruh baya turun. Tubuhnya masih terlihat kekar, rambut panjang bergelombang. Namun, ada yang berbeda. Tato itu sudah hilang yang dulu menutupi sekujur tangannya. Pakaiannya pun agak rapi, tidak lagi dipenuhi sobekan-sobekan. Hanya tatapan sinis dan gunjingan itu belum musnah, mungkin juga semakin menjadi-jadi.

Ya...Baharudin alias bahar alias ebo. Dia mencoba merespon tatapan itu, namun masih gelap. Mata-mata itu masih melihat masa lalu. Mereka jengkel dengan masa lalu itu. Bahar pun mulai surut, membiarkan bias gelombang sinis itu menghantam. Diam untuk mengalah, dan dia berlalu menuju ‘istana’ yang lama dia campakkan. Sesosok tubuh setengah tua menyambut kedatangannya. Air mata itu pun mengalir.
”Mari anak ku, masuklah,”
”Assalamualaikum,”
Air mata itu membuat kata-kata tak terungkap. Jawaban salam hanya bisa keluar dari relung hati.
”Syukur kamu sudah datang anak ku. Ibu sangat gelisah,” mata itu menyembunyikan seabrek masalah. Dia tidak ingin sang anak tahu tentang itu.
”Bu, bahar banyak berbuat salah. Nyakitin ibu dan keluarga. Orang-orang di kampung juga,” tangisan tobat ini terpecah. Membanjiri relung-relung kekeringan. Membasahi jiwa yang resah, dan mengumbar setitik cahaya.
***
Gosip mulai menyebar, ramai dibicarakan di pagi buta itu. Lebih aktual dan sangat infotainment, mengalahkan program gosip di televisi.
”Waduh, gimana ne, si bahar muncul lagi. Aku jadi takut, bagaimana nasib anak-anak kita nanti?,”
“Ia bu, kok bisa dia datang lagi? Benar-benar penyakit!,” celoteh para ibu-ibu ini. Gosip ini memang hangat, dapur pun di tinggal, kalah panas dengan gosip tentang bahar ini.
Sementara ibu-ibu menggosip di depan teras rumah, para bapak mendatangi ketua RT.
”Begini pak RT. Si bahar datang lagi, suasan menjadi kacau. Masyarakat gelisah, kita harus bertindak pak. Bila perlu, kita usir dia sekarang juga!!,”
”Ia pak, jangan sampai kampung kita ini dimasuki oleh orang seperti dia lagi,”
Pak RT mulai kebingungan. Tentu sebagai pemimpin, dia harus bersikap bijak, walau sejarah tidak memihak pada bahar.
”Kita biarkan dulu dia istrahat. Biarkan dia dengan ibunya dulu, besok saya akan ke sana dengan pengurus RT yang lain,” pak RT mengambil jalan tengah. Harus berhati-hati, jangan sampai warga marah dan brutal. Semua menyepakati dan menyerahkan ke pengurus RT. Tapi di luar sana, obrolan seputar bahar tetap hangat. Sampai-sampai mengalahkan gosip artis yang bercerai dan isu politik seputar DPT.

***
Keesokan harinya, ketua RT beserta sekertaris dan bendahara, menyambangi rumah bahar. Mereka disambut oleh bahar dan ibunya, karena memang hanya mereka berdua yang menghuni rumah itu sejak bapaknya bahar meninggal 4 tahun silam, dan adiknya yang menjadi buruh pabrik di ibu kota.
”Begini bahar. Kedatangan kami ke sini karena warga mulai gelisah sejak kedatangan mu...”
”Ia pak RT, saya mengerti. Saya mungkin aib bagi warga, dan memang tidak layak tinggal di kampung ini. Tapi saya minta izin sampai besok untuk sekedar menemani ibu,” harap bahar dengan mimik sedih. Sang ibu tidak bisa menahan air mata, tidak bisa berbuat banyak. Bahar pun mengerti dengan kondisi ini. Sedangkan ketua RT dan yang lainnya pun larut dalam kesedihan itu. Tapi, untuk menghindari amarah warga, dia terpaksa berbuat seperti ini. Waktunya belum tepat, lingkungan belum kondusif, satu-satunya cara adalah hijrah. Itu yang ada di benak bahar.

Walau ketua RT telah memberitahukan hal ini ke warga, namun perbincangan tetap saja hangat. Bahkan, beberapa warga sangat emosional. Hendak mengusir bahar sekarang juga. Praktis, bahar hanya di dalam rumah. Menemani sang ibu yang begitu rindu padanya, walau segala dosa telah dia lakukan.
”Ibu harus sabar. Ini adalah jalan terbaik yang harus bahar tempuh. Jangan khawatir, bahar sudah berubah. Ibu berdoa saja,” pelukan erat sang ibu membuat bahar menangis. Sedangkan sang ibu, sejak kedatangan bahar, tidak pernah berhenti meneteskan air matanya. Dengan berat hati, sang ibu merelakan si bahar pergi, menemukan eksistensinya sebagai manusia ciptaan-Nya.

***

Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar