Halaman

Cerpen

Perempuan Di Kapal Ferry

Jauh dan melelahkan. Itulah perjalanan yang harus aku tempuh. Berangkat dari pulau Sumbawa paling timur, menyebrangi lautan hingga sampai ke pulau Lombok untuk transit menuju perjalanan berikutnya. Aku sempat mempelajari makna dari perjalanan Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah. Beliau menghindar ke Madinah karena semakin terdesaknya umat Islam di Mekkah. Demi menyelamatkan Islam, beliau mengambil jalan hijrah untuk membangun kekuatan. Sejarah kemudian membuktikan bahwa pola itu berhasil, dan Islam menjadi mendunia.
Sebenarnya, di ibu kota NTB ini juga banyak instansi pendidikan yang bonafit dan bermutu, termasuk di daerahku. Tetapi, untuk sementara aku memilih menyingkir dari lingkungan. Aku perlu referensi paradigma maupun lingkungan yang lain guna meraihnya.
Dari terminal Mandalika (Bartais) Mataram, bus yang aku tumpangi melaju ke pelabuhan. Semilir angin dan gelapnya awan mengiringi penyebrangan ini.
“Ma, masih lama?”, tegur seorang anak kepada ibunya yang kebetulan di sampingku
“Ia, kita di kapal 5 jam nak”,
“Kamu tidur saja ya”
Dekapan erat sang ibu mengiring lelapnya si anak. Terlihat rona wajah yang tegang dan seraya mengharap doa. Aku menangkap ada sebercik ketakutan di hati si ibu ini. Ketakutan yang luar biasa. Rasa iba ini hanya bisa diungkapkan dalam doa. Selamatkan mereka dan kami semua dalam dekap kasih saying-Mu. Semakin jauh ferry ini meninggalkan pelabuhan, semakin terlihat jelas rona ketakutan itu.
Derasnya angin berhembus yang menggandeng butiran hujan, seolah tidak terasa. Ditutupi perasaan takut yang luar biasa. Gelapnya awan yang mengiringi kami seolah berkata Aku gelapkan ini agar kalian tidak bisa melihat deras dan kuatnya ombak laut ini.
Kondisi ini semakin melarutkan sang ibu muda ini dalam ketakutan. Aku menangkap ada seucap doa yang mengalir dari bibir mungilnya ini. Takut akan kehilangan buah hatinya yang begitu manis. Akupun mulai merasakan kerasnya getaran ini. Terombang-ambing dalam kondisi yang ling-lung.
Di sekitar, berbagai doa mulai terdengar terucap dari setiap mulut insan Tuhan ini. Walau ada juga yang manfikkan itu, mereka masih sibuk dalam dekapan mesra pacarnya. Keindahan cinta yang membuat mereka tidak membukan mata. Ah, tapi itulah generasi sekarang. Mungkin kalau sudah tenggelam, baru mereka mengucap kata taubat.
Aku terus saja memperhatikan tingkah sang ibu muda ini. Setiap orang pasti terkesima melihat kecantikan hamba Tuhan ini. Namun, dalam benakku terbesit kata Tanya, mana si bapak atau suaminya? Tidakkah dia ada dalam kondisi genting dan ketakutan yang luar biasa ini?
Di deck 1, suara benturan semakin keras. Nampaknya, ada kaca mobil yang pecah. Atau juga body mobil peok akibat benturan dengan mobil yang lain. Tapi yang jelas, kondisi di bawah sudah mulai digenangi air laut. Kondisi dalam status pelayaran masih dianggap belum terlalu membahayakan. Tetapi, ketakutan dari mahluk Tuhan yang di ferry ini sungguh sangat luar biasa.
Aku dan sang ibu muda ini sudah mengambil posisi aman sejak keberangkatan. Kami sengaja duduk di dekat lemari pelampung. Takut terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Sedia payung sebelum hujan, mungkin seperti itu.
Cuaca nampaknya tidak bersahabat. Percikan air laut yang begitu dahsyat pun membasahi kami di deck 2. Ketakutan semakin terasa saat terdengar suara adzan. Suara itu bukan untuk menandakan waktu sholat tiba, tetapi karena kondisi yang menakutkan.
Aku memandang ibu muda ini. Hanya kekuatan yang bisa diharapkan. Kain selendang yang dia kalungkan, sekarang dia eratkan pada buah hatinya. Mengikat erat di pundaknya, menyatu dengan dia agar si anak tidak terpisah. Pikirannya, kalaupun harus mengakhiri hidup, dia tidak ingin sendiri. Banyak kasus sebelumnya ketika ferry tenggelam. Si ibu justru selamat tapi si anak tidak bisa tertolong. Mungkin si ibu muda ini tidak mau mengalami hal seperti itu. Lebih baik dia yang mati dari pada harus merelakan si buah hati.
Para awak bus yang biasanya berbaring di bus, sekarang mulai merangkak naik. Sehingga terlihat jelas begitu padatnya manusia di atas ferry ini. Semua berkumpul di tempat terbuka, percikan gerimis dan angin dingin tidak menyurutkan mereka. Rasa takutlah yang menafikkan kondisi itu.
Semua penumpang tidak diperkenankan berada di pinggir. Semua masih larut dalam kondisi harap-harap cemas. Teriakan Allahuakbar menderu keras saat gelombang tinggi menghantam ferry ini. Benturan-benturan antara mobil di deck 1 pun menggoyahkan hati, takut tenggelam. Segala macam dosa mulai nampak. Teringat dengan dosa yang telah diperbuat. Mengharap ampunan-Nya. Memohon agar selamat sampai tujuan.
Berjam-jam kami dalam kondisi ini. Larut dalam ketakutan, menyebut asma Tuhan yang sebelumnya sering dilupakan. Mengharap ampunan-Nya yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Kondisi inilah yang sering membuat setiap manusia mengingat Tuhannya. Bisa jadi, setelah kondisi ini, Tuhan akan terlupakan. Asma Tuhan sudah tidak berlaku lagi, dan berlanjut untuk berbuat maksiat dan dosa.
Beberapa mil lagi hingga sampai di pulau dewata, kondisi sudah mulai terkendali. Gelombang sudah mulai surut, dan orang-orang mulai tenang.
“Alhamdulillah ya Allah”, seru seorang penumpang
“Allahuakbar”,
“Terima kasih Tuhan”,
Aku menatap wajah sang ibu muda yang setia di tempatnya, di dekat ku. Dia menciumi buah hatinya dengan penuh kasih saying. Terpancar rona kebahagiaan yang tiada tara. Dia ingin mengungkapkan terima kasih kepada Tuhannya.
“Maaf mas, sekarang jam berapa ya?”, tiba-tiba ibu muda ini menegerku. Dengan merasa kaget aku pun menjawab.
“Oh..jam 6 bu”,
“Jangan panggil ibu ah, mentang-mentang aku punya anak. Bisa saja masnya yang lebih tua dari saya!?”, Aku tersenyum mendengar pernyataan itu.
“Tadi juga aku tahu kalau mas memperhatikan kami. Hanya saya tidak bisa membalas walau dengan senyuman karena saya takut”, lanjutnya. Ah, aku jadi gak enak hati. Aku dibuat bingung dan salah tingkah.
“Oh ya, saya Rani dan ini anak saya, namanya Rendi”, lanjutnya memperkanlkan diri sambil mengulurkan tangannya. Akupun membalas.
“Saya Mamat. Anaknya lucu ya..”,
Ditengah sisa perjalanan laut ini, kami pun berbincang. Sungguh menarik. Tidak hanya sosok yang cantik dan anggun, tapi juga enak di ajak ngobrol.
“Mas mamat udah punya pacar? Tujuannya kemana?”
“Mmmm…dulu punya tapi udah putus. Saya mau lanjut kuliah di Malang mbak”
“Oooo…jangan panggil mbak dech. Panggil saja Reni, biar lebih akrab”
“Ia dech Reni”, kataku sambil tersenyum malu.
“Oh ya Ren, sebelumnya aku minta maaf kalau salah. Mmmm…kok kamu gak ditemani suamimu?”, tanyaku
“Gak apa-apa kok. Sebenarnya saya ma ayahnya Rendi belum menikah…”, aku terkaget. Belum menikah tapi sudah punya anak? Reni kemudian melanjutkan ceritanya setelah sempat terhenti menghela napas.
“Dulu kami pacaran sejak aku SMA kelas 1. Dia baik dan perhatian. Aku sudah yakin dengan dia, dan sudah aku putuskan kalau dia adalah pendamping hidupku kelak. Akupun menyerahkan jiwa ragaku padanya. Aku sudah pasrah terlebih lagi dia baik dan perhatian. Kami pun melakukan hubungan layaknya suami-istri. Beberapa kali kami melakukan hingga aku hamil. Katanya dia mau tanggungjawab, dan aku percaya itu. Beberapa minggu setelah itu, dia minta ijin pulang. Katanya mau ngasi tahu orang tuanya. Berbulan-bulan aku tunggu, ternyata dia tidak kungjung datang. Bahkan ngasi kabar pun tidak pernah”, ceritanya panjang lebar.
“Trus sekarang kamu mau kemana?” Tanya ku penasaran.
“Aku dapat kabar kalau dia pindah kuliah di Surabaya. Makanya sekarang aku mau minta tanggungjawab dia. Lagian keluarga ku juga sudah tidak peduli dengan aku. Bahkan, mereka sempat menyarankan agar aku aborsi. Tapi aku menolaknya”, lanjutnya.
Ada sebercik keteguhan hati Reni, si ibu muda ini. Terlepas dari kesalahan dia dengan berjinah, tetapi dia masih mampu menolak aborsi. Padahal, aborsi sudah menjadi ‘obat mujarab’ bagi mereka yang mengagungkan sex bebas. Tidak ada ketakutan lagi di hati mereka. Kalau hamil kan tinggal aborsi!? Mungkin seperti itu yang ada dalam pikiran mereka, generasi sekarang ini.
“Kamu harus sabar Ren. Aku doakan semoga kamu menemukan dia dan mau bertanggungjawab. Toh lagian kamu masih cantik!? Masih banyak cowok yang mau sama kamu” usaha ku menghiburnya.
“Mas ini bisa saja…tapi ia sich masih banyak cowok yang mau. Termasuk mas mamat kan?!”, kami berdua pun tertawa. Aku senang melihat dia tertawa. Sebelumnya hanya rona takut dan sedih. Sekarang aku bisa melihat mahluk Tuhan yang cantik ini tersenyum dan tertawa. Sifat yang sah-sah saja ketika kita mengagumi kecantikan lawan jenis. Namun, aku melihat hal yang dahsyat dari dalam diri Reni, si ibu muda ini. Ketegaran, semangat dan keceriaan tetap terpancar. Tidak seharusnya orang-orang seperti Reni ini dikucilkan atau bahkan di asingkan dalam kehidupan sosial. Mereka butuh semangat dan perhatian. Mereka bisa berbuat salah, tapi mereka juga bisa berbuat lebih baik. Tuhan saja selalu memaafkan, kenapa manusia tidak bisa?
Aku menangkap hal yang luar biasa dalam diri Reni ini. Remaja seumuran dia dan saya masih dalam kondisi labil. Tekanan sosial bisa saja membuat putus asa, dan banyak kasus yang terjadi. Tetapi, tekad dan kekuatan dia justru mengalahkan paradigma itu. Perempuan seperti dia, secara fisik memang lemah jika dibanding kaum laki-laki. Tetapi, semangat untuk hidup dan merubah diri begitu kuat. Raga boleh lemah tetapi paradigm hidup harus menutupi kelemahan itu. Inilah potensi yang sering terlupakan.
Tidak terasa, ferry kami sudah bersandar dan penumpang sudah mulai turun memasuki busnya masing-masing. Aku, Reni dan anaknya pun beranjak turun. Bus kami berbeda sehingga kami harus berpisah.
“Mas mamat, aku pamit dulu. Kalau ntar punya pacar, perlakukan dia dengan penuh kasih sayang. Jangan terlantarkan dia, apalagi berzinah dengan dia. Kalau dengan pacarnya nanti, ingat saja ibu atau adiknya mas yang cewek. Makasih ya mas mamat”
“Ia sama-sama. Terima kasih juga atas kebersamaan yang singkat ini. Aku akan selalu mengingatnya”, jawabku.
Seraya tersenyum, dia pun menghilang ditengah durunya bus-bus yang berjejer di dalam ferry. Aku kembali ke bus dengan rona tersenyum dan penuh kagum. Bayangannya selalu mengiringi setiap langkahku.
Kini, kami melintasi indahnya pulau dewata. Tepat jam 7 malam, bus sudah memasuki wilayah dewata. Semua tertidur lelap. Kelelahan dengan kondisi yang terjadi saat penyebrangan di ferry beberapa waktu lalu.
Aku tidak bisa memejamkan mata. Terngiang dengan Reni si ibu muda. Begitu kuatnya Reni dalam menempuh cobaan ini. Terlebih lagi dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan keluarganya sendiri tidak mengasihani dia dan anaknya. Tetapi, aku marah juga dengan cowok yang menghamili Reni. Berdosa dia. Rugi juga dia telah mencampakkan perempuan sekuat Reni. Ah, Reni…Reni… Perempuan yang cantik dan tegar. Terkadang, aku mengagumi kecantikan itu. Namun, aku banyak belajar dari sosok perempuan bernama Reni ini. Saya pikir, semua laki-laki pun harus belajar dengan perempuan. Tidak selamanya mereka manusia lemah. Mereka memiliki kekuatan dan kelebihan, jika kita mau belajar dari mereka. Sungguh sempurna dirimu Reni.



Perbincangan Di Sawah
Burung-burung, sapi, dan kawanan kerbau tak bertuan itu, menjadi musuh bersama. Gara-gara mereka, tahun lalu padi kami gagal panen. Habis di makan mereka, di injak-injak oleh mereka. Dasar hewan gerutuku dalam hati.

Pagi ini aku tidak sendiri, beda dengan kemarin. Hasan, siap menemaniku, karena dia juga punya tugas yang sama. Menjaga ‘aset’ kami dari invasi hewan-hewan itu.
”Ntar furqon juga datang,” Hasan memberi tau ku. Tumben anak itu mau ke sawah, aku sedikit heran.
”Tumben san? Kan sawahnya tidak di sini?,”
”Ia, katanya gak ada teman di kampung. Si Amir dan Lukman pergi ke Dompu,”
”Baguslah. Eh sambilan nyari belut yuk?,” tiba-tiba pikiran ku ingin makan belut, padahal bekal ikan asin, buah asam yang telah digerus bijinya serta beberapa biji tomat, sudah cukup buat hidangan hari ini dan esok. Hasan setuju, dan bergegas mengambil pancingan. Kebetulan, di sawah kami banyak belut. Biasanya tidak menggunakan pancingan, cukup di gali dengan tangan saja. Hanya sekarang, sawah sedang di tanami padi.

Hampir 2 jam, bergelut dengan lumpur. Berguling-guling dengan licinnya belut. Kadang ketawa, kadang jengkel, apalagi kalau tangkapan lepas. Tapi, ada juga yang menakutkan! belut merah. Ukurannya besar dibanding belut yang lain. Kulitnya agak kemerah-merahan. Mirip ular. Pantas kalau hasan sampai-sampai jungkir balik di pinggir sawah, kaget dan takut katanya.
”Woi...belutnya udah banyak belum? Lapar aku ini!,” tanpa rasa berdosa, furqon berteriak. Kami kaget. Ternyata dia sudah lama tiba. Hanya asyik-asyik duduk di salaja (dari bahasa Bima-NTB. Artinya tempat istrahat di sawah, semacam gubuk). Aku dan hasan saling memandang. Terpancar sebuah simbol dari mata kami. Ya, satu kata yang secara lahiriah sudah terbentuk.
”SERANG..!!!!!,” teriak hasan sambil membawa tangkapannya dan segenggam tanah lumpur besar. Aku yang sudah memahami kode matanya itu pun mengikuti komando. Terlihat dengan jelas kepanikan furqon. Dia terjepit, tidak ada tempat untuk membentengi serangan. Yang hanya bisa dilakukan hanya pasrah. Baju yang bersih, kini bercampur lumpur. Namun, tiada kata marah selain ketawa. Prinsip kami, tidak boleh ada yang bersih saat di sawah, kecuali saat pulang ke rumah tiba.

Ada sekitar 20 ekor belut hasil tangkapan aku dan hasan. Sedangkan furqon, kami beri tugas memasak nasi. Bahan bakarnya hanya dari kayu kering di dekat pagar sawah. Airnya, ada di dekat salaja berupa mata air. Kalau hujan turun, airnya berwarna coklat, tapi tetap saja kami meminumnya, tidak pernah ada keluhan sakit perut seperti di kota-kota besar.
Nasi sudah matang. Belut sudah selesai di bakar. Ada air asam di tambahi irisan bawang mentah, sedikit garam dan cabe. Makan belut dengan oi mangge (air asam), begitulah kami menyebutnya. Sungguh nikmat, semua serba alami. Udara yang bersih dan hidangan tanpa ada zat kimia yang tercampur di dalamnya.
”Aduuuhhhh...perut ku kenyang,” gerutu forqon.
”Untung kamu ke sini fur, ada hidangan enak,” kilah hasan.
”Ia benar tu hasan. Eh, sama satu lagi. Malam ini kamu harus tidur di sini bareng kita,” gertak ku ke furqon. Seru kiranya jika kami tidur bertiga di sini. Furqon bersedia, jadilah malam ini kami bercengkrama bertiga di tempat sepi nan sunyi ini.
Saking kenyangnya, tidak terasa kami tertidur hingga hari mulai gelap. Dua lampu tempel, 1 obor dan setrongke, kami nyalakan sebagai penerang. Walau di sawah, tidak ada nyamuk. Udaranya pun dingin dan alami. Sungguh sejuk rasanya.
”San, habis lulus SMA ini kamu mau ke mana? Kamu juga gus?,” tiba-tiba furqon menggugah masa depan yang masih membuat kami dilema. Anak seorang petani seperti hasan, bagaimana dia mendapatkan biaya? Anak seorang guru yang gajinya tidak seberapa, bagaimana saya bisa kuliah? Tapi memang jalan ini harus kami tempuh.
”Belum tau fur, mungkin gak lanjut. Atau 1 tahun ini aku kerja dulu. Pengen sih kuliah tapi ya itu...,” hasan tiba-tiba berhenti. Kami tau maksudnya, dan kami tau yang dia pikirkan.
”Kalau aku memang ada rencana kuliah. Insya Allah di Malang. Agak jauh memang, dan pasti jarang pulang,” ungkap ku.
”Tapi kita tetap ketemu kan gus? Kembali ke bima?,” tanya furqon seolah-olah mengharapkan dengan rasa yang sangat berharap. Aku mengiyakan. Aku pasti kembali, bertemu kalian dan menggarap sawah serta menangkap belut di sini. Obrolan sangat serius, sambil merebahkan badan di atas bale-bale bambu ini. Hingga akhirnya kami terlelap dalam cita-cita dan sebuah pengharapan akan masa depan kami.

Aku kaget. Aku gerah dan marah. Heran tiada terkira. Lima tahun tidak pulang. Tidak ada lagi sawah yang bisa digarap. Belut? Sudah tidak tahu kemana lagi. Yang tersisa hanya hasan dan furqon. Cerita masa lalu itu hanya sebuah sejarah tanpa TKP (Tempat Kejadian Perkara) lagi. Sudah di jamah oleh tangan-tangan kapitalis. Sejarah tidak akan terulang di sini, di tempat ini. Mungkin di tempat lain yang tidak disentuh oleh tangan-tangan kapitalis. Dengan orang yang berbeda, bukan lagi dengan aku, hasan dan furqon.
Read More!