Halaman

Burung Hantu Mencari Surga (2)

Episode: Langit Mendung Di Kampung
Deru bising suara bus yang meluncur, seolah tidak di dengarnya. Kicauan para pedagang dan penghuni bus seoalah angin lalu. Hampa yang Bahar rasakan. Semua seolah genangan air yang siap untuk dikuras sang empunya. Seolah menjadi sunami yang siap meluluh-lantahkan setiap umat yang ada. Atau seperti derasnya arus air yang mampu membentuk saluran sendiri, tidak mengikuti aliran air sungai.
Kini, kebimbangan itu berada di pelupuk mata, menembus ruang terdalam hatinya. Bahkan, kini telah merambah otak dan pikirannya. Mulai merenung, menatap ke belakang tentang dirinya. Mengharap sesuatu yang dia sendiri tidak tahu harus mengharap apa. Ingin menatap sesuatu, tapi ternyata gelap.
***
Waktu itu, Bahar masih di bangku kelas 1 SLTP. Seorang tetangga menjemputnya dari sekolah. Tumben, para guru memberi izin, padahal Bahar sering sekali membolos. Dia juga tidak tahu, kenapa harus pulang. Mungkin bapak tahu kalau aku suka membolos. Dia begitu takut. Pasti dipukul, atau digantung terbalik seperti tahun lalu.
Sampai di depan rumah, bukan bapaknya yang menunggu. Padahal, tahun lalu, bapaknya yang menunggu di depan pintu, tidak lupa menenteng sebatang rotan kecil tapi amat sakit kalau dipukuli. Hari itu, Bahar disambut oleh ibunya. Tidak seperti biasanya, deru air mata ibunya.
Dia baru tahu, baru sadar kalau ayahnya meninggal. Jasadnya ditemukan di gunung, tempat mereka membuka lahan. Kondisinya sudah kaku, dan mengeluarkan bau tidak sedap. Kemungkinan besar dibunuh, tapi motifnya belum diketahui. Bahar hanya bisa memperhatikan tatapan kosong. Imajinasinya kini sedang off. Entah apa yang terjadi kelak.
Seminggu sudah ayahnya meninggal. Tiap malam diadakan pengajian dan doa bersama. Seminggu ini pula bahar tidak ada yang mengontrol. Dia adalah anak satu-satunya. Dia memang terkenal bandel, hanya masih ditoleransi karena masih kecil. Tetapi, untuk ukuran kampung dan seangkatannya, kenakalan dia sangat keterlaluan.
Sudah tidak terhitung, dahi temannya berdarah karena hantaman batu oleh Bahar. Sudah berapa kali dia merampas mainan temannya. Bahkan, sangat sering sekali dia menghabiskan waktunya di pinggiran sungai hanya untuk menghisap rokok yang dia curi dari ayahnya.
Terhadap ibunya? Sering dia melawan. Bahkan, saat tidak diberi uang, ibunya dia lempar. Para tetangga hanya bisa mencaci Bahar. Segitu juga dia cuek bebek. Namun, dia menjadi sangat lemah di hadapan ayahnya. Yang dipahami ayahnya adalah Bahar sudah besar, dan ketika dia melanggar maka wajib untuk dipukul biar jera. Sehingga, kenakalannya ketika itu masih terkontrol.
Setelah ayahnya meninggal, Bahar menemukan dunia baru. Saya adalah pemimpin, dan semua terserah saya. Itu yang dia pikirkan, dan kenakalan itu semakin menemukan titik terangnya. Di umur yang masih sangat muda dan belia, dia sudah berani terang-terangan merokok. Disekolah pun dia merokok ketika tidak ada guru. Tidak ada yang berani melapor, kecuali mereka ingin dipukuli oleh bahar dan genknya.
Bahar, ternyata juga bisa diandalkan sebagai diplomat ulung. Dengan diplomasinya, para tetangganya pun menjadi perokok, bahkan mereka yang masih ingusan. Perkembangan kenakalannya sangat pesat. Pergaulannya pun meluas ke kampung seberang, dan tidak hanya rokok, kali ini dia juga sudah mengenal alkohol. Di lingkungannya, dia adalah ketua gank. Harta di rumahnya hampir sudah habis dijual Bahar hanya untuk memenuhi kebutuhan rokok dan alkoholnya. Hanya saja, ibunya dan warga sekitar belum ada yang tahu kalau Bahar adalah peminum.
Malam tahun baru kala itu, dia lalui di kampung seberang. Tentu bersama dengan anggota ganknya.
”Anggota banyak ne, beli lagi dong?” sapa Bahar ketika melihat jumlah minuman yang tidak sesuai dengan jumlah anggota.
”Uangnya mana? Jangan banyak protes aja kamu” gertak Iwan, seorang teman. Bahar menyuruh iwan mengambil motor. Mereka berdua pergi membeli alkohol dengan merek Topi Miring (TM). Bahar di bonceng karena dia merasa bahwa bukan bos yang membawa motor.
Lebih dari 2 jam mereka menunggu Bahar yang membeli TM, tapi belum kunjung datang juga. Sesaat kemudian, muncul seseorang yang menghampiri mereka. Dia membawa kabar kalau Bahar dan iwan kecelakaan. Semua tersentak.
***
Kamar VIP ruang melati RSU malam itu ramai oleh warga. Ada keajaiban dan ada kabar menggemparkan. Seorang ibu tampak masih menangis di samping anaknya. Tidak terlihat luka yang serius, kecuali bekas jahitan di kepala dan lecet di kaki. Namun, belum menunjukkan siuman. Ibu itu tampak mulai cemas.
Seorang dokter paruh baya datang ke ruangan itu. Dia mengabarkan bahwa kondisi Bahar tidak mengkhawatirkan. Hanya sedikit trauma karena kejadian yang sangat mengenaskan. Sang ibu pun mulai merasa tenang. Hanya berdoa yang bisa dilakukannya.
Hanya 3 hari Bahar di rawat. Kondisinya belum terlalu pulih, tetapi alasan keuangan lah yang membuat mereka keluar dini. Untuk sementara, Bahar berada di rumah dan dirawat seadanya oleh ibu.
”Bos, kok kamu bisa lolos sih? Padahal Iwan mati lho?”
”Tidak ada bos yang mati duluan, anak buahnya dulu. Lihat aja india, memang ada bos yang mati duluan? Dia pasti di akhir” Nampak kecongkakan itu masih terjadi. Padahal, dalam hatinya merasa bingung. Motor yang melaju dengan kencangnya, seolah jalanan itu adalah sirkuit sentul Bogor. Dia juga baru tahu kalau saat mengendarai motor ternyata Iwan dalam kondisi mabuk.
Tikungan tajam di depan kantor PLN itu tidak menyurutkan nyali Iwan untuk menurunkan kecepatan motor. Tanpa terkendali, motor itu menabrak sebuah mobil yang juga dalam kecepatan tinggi. Setelah itu, gelap, dan dia menyadari kalau dia sudah di rumah sakit.
Dari cerita rekannya, kondisi Iwan sangat mengenaskan. Ketika tambrakan itu, Iwan terseret bersama motornya di bawah kolom mobil itu. Banyak orang yang tidak sanggup menceritakan kejadian itu. Sangat mengerikan. Tetapi, banyak orang yang menjadi heran, kenapa Bahar justeru bisa selamat?
Sekembalinya dari RS, kondisi anak-anak muda di situ semakin menggila. Hampir tidak mencerminkan warga yang religious. Melawan orang tua sudah menjadi pemandangan yang lazim. Mengambil beras di rumah untuk di jual adalah kegiatan tiap hari mereka. Hanya demi menghisap rokok dan melayang-layang dalam buaian alcohol.
Keresahan warga dan para orang tua, nampaknya telah memuncak. Kejadian hilangnya ternak warga, padi, beras, hingga kenakalan remaja, adalah akumulasi kemarahan. Semua tertuju pada satu actor yaitu Baharudin alias bahar alias ebo.
Kondisi ternyata bersahabat dengan waktu. Bahar tertangkap tangan oleh warga ketika mengambil sekarung beras di rumah tetangga. Untung saja dia tidak dihakimi, hanya cacian dan makian. Sang ibu tidak bisa menahan air mata dan seketika dia pingsan. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Bahar digiring ke kantor polisi. Sejak saat itu, dia dipenjara.
Warga mulai merasa tenang. Tetapi, mereka punya tugas baru yaitu mengembalikan kondisi anak-anak mereka. Sebagian ada yang rutin menyuruh pengajian, ada yang mengirim ke pesantren di kota dan luar kota, bahkan ada yang ke luar daerah. Sementara, ibu Bahar merasa teralianasi di kampung itu. Bagi warga, tidak terlalu menyalahkan ibu Bahar, tetapi perasaan ibunya saja yang seperti itu. Hanya beberapa kali saja ibu Bahar terlihat bersama warga, selebihnya menyendiri. Sesekali mengunjungi Bahar di penjara.
***
Lelah membayangkan masa lalu akhirnya tandas setelah kondektur bus mengisyaratkan agar seluruh penumpang berada di luar bus selama penyebrangan. Bahar terbangun dari mimpi kelam dulu.
Keindahan laut dengan percikan ombaknya dan deru angin laut, menemaninya ketika itu. Subuh belum beranjak. Sempat sholat di ferry penyebrangan.

0 komentar:

Posting Komentar